Tulisan ini mencoba mewakili perasaan seorang mahasiswa akhir yang sedang bergelut dengan pikirannya sendiri. Menceritakan bagaimana kegelisahannya yang tak kunjung usai melewati hari sebelum tuntas tugas akhirnya yaitu Proyek Studi (skripsi). Menggunakan sudut pandang orang pertama, ia mencoba mengambil perspektif secara gamblang dan arogan.
Kenaifan Seorang Mahasiswa
Kejenuhan membawaku dalam kehampaan yang tidak terkendali
untuk melakukan hal-hal positif. Kecenderungan untuk melakukan banyak agenda
diluar misi masa depan demi kesenangan yang tentunya tidak membuatku cepat
merasa puas. Selain menunggu untuk waktu yang tepat dimana mood mengambil alih
diriku, aku melakukan banyak hal bodoh yang kusugesti sendiri layaknya tindakan
yang semestinya. Aku sangat sadar , sedang bernegosiasi dengan kemalasan.
Mencoba menipu arus jalan yang seharusnya kutapaki. Tidak mudah memang untuk
membaur lagi pada objek- objek yang sebagaimana mestinya kuselesaikan. Hingga
akhirnya, keterlambatan dan kebodohan menjadi satu. Keduanya menyelinap ke tepat
diwajahku sebagai topeng dan menawarkan julukan Pecundang menggeser namaku yang
dulunya kuangkat sangat tinggi pada kuasa egoku. Jika sudah terlanjur tersesat
kini, ingin rasanya aku meledakkan diri. Melenyapkan semua perjuanganku yang
masih kurasa sangat kecil. Tiba- tiba , aku mulai mengingat kembali bahwa
pencapaianku yang belum seberapa inipun karena dukungan hebat dari orangtuaku,
lalu bagaimana aku bisa secongkak ini , yang dengan beraninya menghancurkan
cita-cita mereka dengan hanya mengambil keputusan untuk menyerah. Lalu, aku
sepertinya harus memikirkan kembali keputusan ini. Karena pilihan yang akan
kuambil nanti tidak akan mengembalikan waktu jarak tempuh untuk mencapai
ending. Andaikan aku sendiri tidak mampu untuk memprediksi ending dalam
hidupku, setidaknya checkpointnya sesuai dengan planningku. Beberapa rancangan
strategi pun kuolah kembali , walaupun terlalu banyak kerusakan dari
kepercayaanku terhadap strategiku, tapi bagaimanapun , aku tidak punya obsi
lain.Ketika rancangan segera dibuat, ada sekelebat lagi cobaan , yaitu adanya
jebakan yang menyuruhku untuk membuang waktu ketika aku merancang strategi.
Sehingga, jawaban dari segala jawaban yang kudapat adalah hanya melakukan.
Melakukan dan melakukan. Melakukan apa yang seharusnya kutuntaskan. Tidak
dengan hari tapi dengan menit- menit yang membuatku senantiasa bahagia. Bahagia
yang kumaksud adalah dimana tidak ada lagi penyesalan. Anehnya, aku tidak
sedang memahami sesuatu disini, tapi lebih kepada suatu hal yang disebut
kebodohan .menutup kembali kenyataan dengan lamunan fatamorgana ditengah
kehausan sepi yang miskin. Salinan tertentu mendeskripsikan bahwa diriku sedang
dalam penyimpangan moral . terhimpit pada lingakaran depresi . diam yang
tertawa, dan tertawa yang menangis. Seperti itulah kiranya emosiku kutuangkan
dalam kenyataan yang tidak mendukungku sebagai seorang mulia. Kehinaan
menghakimi diriku sendiri hingga tidak banyak kebaikkan yang bisa kulihat dari
diriku sekarang. Kehinaan mengkebiri semua kemuliaan dalam diriku. Kuratapi untuk kesekiankali nasib yang tidak
pernah kusyukuri ini. Semua itu penggambaran dari waktu yang diamanatkan olehku
dari Yang Kuasa. Seruan menyerah untuk mengemis dari kekuatan yang tidak kekal
, hari yang telah letih menungguku berhasil. Dan sederetan ancaman dari kata
kata berbau yang disebut Tua. Langkah manakah yang terlewatkan olehku? ! memerangi
diri sendiri merupakan tindakan super keterlaluan yang wajar. Kenaifan yang
dulu kudewakan menelanku mentah , lalu memuntahkan kembali diriku dengan
perubahan yang apa tidak tahu. Tidak tahu lagi. Ahh lagi........................................lagi
tidak tahu.
27/01/2016